Rabu, 30 Maret 2016

Jalan Terjal Menikah di Usia Muda




“Kamu berani memintaku dari ibu?” 

Gadis lencir di hadapanku itu bertanya.

“Kenapa harus takut? Jangan panggil aku Heru kalau tidak punya nyali meminangmu! Meski hanya buruh pabrik, aku berani menafkahimu!” 

Aku balik menantangnya.

Kulihat pipi gadis itu merona, tak melanjutkan lagi pertanyaannya. Dia hanya menyunggingkan senyum tersipu. Senyum yang semakin menguatkan keberanianku untuk mempersuntingnya.

Tiga bulan setelahnya, aku mengikrarkan akad nikah di hadapan Penghulu dan Walinya. Meski hanya disaksikan orang tua dan keluarga terdekat, tapi momen tersakral dalam hidup kami itu tetap berkesan hingga kini.

Tak ada pesta pernikahan, tak ada pula janur kuning dan kemegahan baju pengantin. Kami memang berasal dari keluarga dengan strata ekonomi paling Low. Hanya ada komitmen diantara kami berdua untuk tetap bersama, hingga ajal mengakhiri keabadian cinta kami kelak. Sebuah momen hidup yang mebutuhkan nyali besar dari seorang lelaki bau kencur seusiaku ketika itu.


*****

“Her, ada telpon dari keluargamu!” Kata Pak Triadi, atasan di tempatku bekerja.

Ketika itu, ponsel masih menjadi barang super lux. Hanya segelintir orang yang memilikinya. Setiap ada keperluan yang mendesak, keluarga karyawan bisa menghubungi nomor pabrik, nantinya oleh resepsionis akan dipersilahkan menelpon ulang sekian menit kemudian, sambil dipanggilkan karyawan yang dimaksud.

Aku berlari ke ruang operator telepon (sebutan kami untuk resepsionist di serambi pabrik). Tak sempat berganti pakaian, masih dengan seragam kebesaran seorang tukang pembuat adonan mie. Panik dan cemas menyergap dada. Tak pernah aku mendapat telpon dari keluarga selama bekerja di pabrik itu.

“Mas, Kevin sakit. Sejak semalam dia buang air besar terus.”

Terdengar isak tangis dari suara penelponku.

“Terus bagaimana kondisinya sekarang?”

“Semalam bu bidan sudah memberikan banyak oralit, tapi diarenya belum juga berhenti sampai pagi ini.” 

Suaranya melirih, makin tenggelam dalam isak tangis.

“Pulanglah, mas.” 

Dia makin tersengal-sengal sesenggukan.

“Tenangkan dirimu, sayang. Aku pulang sekarang. Cepat bawa Kevin ke rumah sakit sekarang juga, jangan ditunda lagi!” Tutupku mengakhiri pembicaraan.

*****

Empat jam naik bis atar kota, akhirnya membawaku sampai juga di kota tempat anak dan istriku menetap bersama orang tuanya. Kaki ini terasa lemas ketika memasuki IGD Rumah Sakit Umum Daerah Nganjuk. Cemas bertambah panik menjadi penyebabnya.

“Kevin Fergiawan sudah dipindahkan ke ruang Dahlia 2A, mas.” Jelas seorang perawat yang berjaga di Istalasi Gawat Darurat siang itu.

“Terima kasih, mbak.” Jawabku, tanpa sempat membalas senyum ramahnya.

Sampai di ruang rawat inap anak-anak, aku tak sanggup lagi untuk tegar. Wajah lelah dari istriku yang duduk di tepi bad pasien membuat dada ini pelahan menyesak. Kudekati bayiku yang baru berusia setahun di sampingnya. Terbaring pulas. Kutatap  tak berkedip jarum infus yang menancap di pergelangan tangan mungilnya. Bulir netra pun mengalir ke sudut bibir ini.

“Alhamdulillah mas, sekarang sudah membaik. Sudah tidak buang air besar lagi setelah diinfus tadi.” Sambut istriku.

Aku masih terdiam, tak mampu mengeluarkan sepatah katapun untuk menjawab sambutan istri. Liverku masih terasa ngilu sengilu-ngilunya. Kucium dengan penuh kehati-hatian buah hatiku, kukecup pula kening ibunya.

“Tadi biaya di IGD belum dibayar. Semua obat dan infus ini sementara masih dipinjami rumah sakit, mas.” Jelas istriku dengan lirih, seraya menunjukkan selembar resep dokter yang belum sempat ditebusnya.

Belum sempat aku membaca resep itu, seorang petugas medis muda menghampiri kami.

“Selamat siang. Mas ini kakak atau ayahnya dik Kevin ya?” Sapa lelaki berwajah putih bersih itu dengan sopan.

“Siang juga. Saya ayahnya Kevin, mas.”

“Oh, masih muda sekali ayahnya dik Kevin. Resepnya tadi tolong ditebus di apotik ya, mas.” 

Untuk kedua kalinya, kembali dia mengumbar keramahan.

“Iya, nanti saya tebus, mas. Maaf, saya baru datang dari Sidoarjo.” Ucapku mengiyakan kata-katanya. 

Dalam hati aku berpikir, setelah ini harus memutar otak untuk mencari uang guna menebus resep dokter anakku.

Beberapa menit, aku dan istri hanya terdiam, belum menemukan jalan keluar terhadap semua biaya opname itu. Sesekali, kami membelai rambut buah hati kami yang masih terlelap. Mungkin pengaruh obat yang di injectkan dari infus.

“Permisi, mas. Saya ingin ngomong dengan sampean sebentar.” 

Tiba-tiba, cowok perawat tadi sudah berdiri di dekatku. Kami pun berjalan keluar ruang pasien. Lalu, duduk pada sebuah bangku panjang di lorong depan ruang Dahlia.

“Maaf sebelumnya, mas. Resepnya belum ditebus juga ya?” 

Petugas medis muda itu membuka percakapan.

“Belum, mas. Saya belum punya uang. Nanti pasti akan saya tebus.”

“Gak apa-apa, mas. Kami mengerti kondisi setiap pasien kok.”

“Begini, mas. Obat itu harus segera ada dan cepat-cepat diinjectkan lagi ke infus dik Kevin.” Lanjutnya masih penuh keramahan.

“Tapi kalau mas masih belum ada uang, saya bisa bantu. Nanti saya akan sampaikan ke atasan agar pasien atas nama Kevin dipinjami lagi obat itu. Tapi, saran saya, setelah resep ini dipinjami pihak rumah sakit lagi, mas segera siapkan dana untuk resep selanjutnya. Agar pelayanan rumah sakit juga baik nantinya!” 

Panjang lebar perawat itu menjelaskan.

Aku bisa menangkap pesan dari petugas medis muda itu. Apapun akan kulakukan demi buah hatiku. Ternyata benar kata orang-orang bahwa “Orang miskin dilarang sakit!”.

“Terima kasih banyak, mas.” Jawabku di akhir percakapan. 

Belakangan kuketahui bahwa dia ternyata mahasiswa sebuah akademi perawat yang sedang magang di RSUD Nganjuk.


*****

“Hanya ini satu-satunya cara, mas.” 

Pelahan, istriku melepaskan sebuah cincin yang melingkar di jari manisnya. Cincin yang dulu ikut menjadi saksi saat kami mengikrarkan ijab kabul.

“Pergilah ke toko emas, jual cincin ini. Demi anak kita, mas.”

Akupun menyerah. Meski harga jualnya tidak seberapa (saat akad pernikahan dulu aku hanya mampu membelikan sebuah cincin murahan), namun setidaknya bisa untuk menebus resep pertama dari dokter rumah sakit.

Tiga hari kemudian dokter Agus P, Spa. yang kala itu bertugas di RSUD Nganjuk menyatakan bahwa kondisi anakku sudah seratus persen sehat dan pulih, sehingga bisa pulang dari rumah sakit.

Kami bersyukur akhirnya bisa melewati masa-masa sulit itu. Namun, masalah baru timbul. Tunggakan selama tiga hari rawat inap belum kami lunasi.

“Apapun akan kulakukan demi anakku!” 

Kalimat itu yang senantiasa menumbuhkan asa dalam pikiran ini. Aku pun pamit kepada istri untuk kembali ke Sidoarjo sesaat. Menemui seorang kawan sejawat di sana.

“Nanti aku langsung kembali!” Kukecup kening dua sosok malaikat yang masih tertahan di ruang Dahlia 2A.

*****

“Aku hanya punya ini, Kus.” Ratapku. Memohon kepada Kusnanto, seorang teman di tempatku mengais rejeki di pinggiran kota Delta Sidoarjo. Kusodorkan sebuah buku kepadanya.

“Apa-apaan kau ini! Kenapa harus kauserahkan BPKB motormu segala?” Jawab kawanku itu, nadanya terdengar marah.

“Anak dan istriku masih tertahan di rumah sakit. Aku butuh uang satu juta. Setidaknya, buku ini sebagai penguat keyakinanmu bahwa aku akan membayar hutang ini.” Jelasku dengan memelas.

“Nanti, setiap minggu, upahku kauambil separuhnya. Aku cicil hutang ini, Kus.”

Kusnanto tak menjawab lagi. Dia masuk ke dalam kamar menemui istrinya. Sementara aku berharap-harap cemas menunggu di ruang tamu. Tak lama kemudian, dia keluar lagi sembari menyerahkan sepuluh lembar uang ratusan ribu.

“Salam buat keluargamu. Segera pulang dan secepatnya kembali kesini. Bekerja lagi. Aku dan teman-teman sudah menunggumu di adukan!” Ucapnya. 

Adukan adalah sebutan kami, para buruh di pabrik makanan ringan untuk menamai bagian pengolahan mie.

“Terima kasih, Kus. Semoga Allah membalas semua kebaikanmu hari ini.” 

Aku pun pamit.


*****

Kejadian itu kami alami ketika pernikahan kami tepat berusia dua tahun. Sama dengan usia pernikahan Bang Syaiha dan mbak Ella Nurhayati sekarang ini. Jagoan kecilku Kevin Fergiawan ketika itu umurnya masih setahun, seumuran juga dengan Bang Alifnya Bang Syaiha dan mbak Ella.

Kami beda nasib dan latar belakang, apalagi strata sosial (maaf), mungkin sangat bertolak belakang. Tapi ada kenangan yang tak akan pernah kami lupakan dalam hidup ini. Betapa terjalnya liku-liku jalan yang harus ditempuh pasangan nikah muda. Yang pernah kami lalui di usia pernikahan dan usia buah hati seperti usia pernikahannya Bang Syaiha - Mbak Ella dan usia putra  tercintanya Alif. Sosok yang kini menginspirasiku dengan kisah pengabdian dan perjuangan hidupnya.

Semoga abadi ikatan pernikahannya Bang. Seperti legenda Dewi Ratih – Kumojoyo yang langgeng meski usia sudah senja, dan raga telah dimakan renta. Semakin menginspirasi semua orang (bukan hanya dikalangan komunitas penulis saja), dan mampu mengawal Bang Alif menjadi sosok masa depan yang amanah, bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan agama. Amin!

Salam bahagia,
( HERU WIDAYANTO)

Giveaway #2ndAnniversaryElSya
#TrueStory
#ODOP
#PostingHariKeduaPuluhTiga

35 komentar:

  1. Keren postingan ini.
    Menginspirasi sekali 👍.
    Sungguh besar kasih sayang dan pengorbanan orang tua demi anak tercinta

    BalasHapus
  2. Terima kasih mbk Deasy ...
    Tulisan saya masih jauh dari kata Keren.

    BalasHapus
  3. Makasih mbk Wiwid udh mampir di gubug saya

    BalasHapus
  4. Barusan saya di sebelah netes netes air liur gegara postingan mba Denik, sekarang hatiku terkoyak koyak membaca tulisan inih, perihhh browww....

    Salam buat keluarga

    BalasHapus
  5. Thnks, salam balik utk klrga mbk Raida

    BalasHapus
  6. Her, lha ko yo melas men, sedih aku,

    BalasHapus
  7. Ojo mbok ceritakne cah2 Lis, nek aku tau adol cincin kawin kr gadekno BPKB.
    Hehee ..

    BalasHapus
  8. Keren, terharu...
    Apalagi saat bertemu temen pinjem uang...

    Keren...

    BalasHapus
  9. Terima kasih Lukisan Tinta, udah mampir gubug saya

    BalasHapus
  10. Terima kasih Lukisan Tinta, udah mampir gubug saya

    BalasHapus
  11. Nggak ada kata lagi selain KEREN!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Biasa aj mbk Fika,
      Msh jauh dr kata keren.
      Mksih udh mampir gubug saya

      Hapus
  12. Mampir di blog ini, krn tertarik judulnya...(coz...ngerasa ada sama nasib haha) baca coretannya...waduhhhh jd ikut memanas mata iniiii....great pak Heru...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbk Dini tumben mampir gubug saya??
      terima kasih sudah meninggalkan sandal :)
      hehe

      Hapus
  13. Kisahnya mengharukan.
    Gaya tulisan Mas Heru bagus sekali..

    BalasHapus
  14. terima kasih pak Parto
    saya masih harus banyak belajar dari pak Parto ini

    BalasHapus
  15. Kompor gas... eh kompor mledug dech buat tulisan mas Heru... mantaap... pantas jadi pemenang... bravo!!!

    BalasHapus
  16. Kompor gas... eh kompor mledug dech buat tulisan mas Heru... mantaap... pantas jadi pemenang... bravo!!!

    BalasHapus
  17. Cerpen mas heru selalu ada selipan budaya jawanya. Keren bangett. Ceritanya juga bikin terharu. :-)

    BalasHapus
  18. Sedih banget baca postingan ini. Menginspirasi! Sungguh layak menjadi juara...!

    BalasHapus
  19. Mencabik hati. Sangat inspiratif. Salam buat istri dan dedeknya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih mbk Heni,
      salam buat keluarga Mbk Heni juga

      Hapus
  20. 👍👍👍
    kisah, alur, bahasanya semua oke.
    jadi t'hanyut bacax..

    BalasHapus
  21. Tulisan Mas Heru berhasil membuatku terbawa suasana... Keren... ^___^ Semoga Mas Heru sekeluarga senantiasa dalam keadaan sehat dan bahagia selalu ya.. Aamiin...

    BalasHapus
  22. Amin YRA ..
    Terima kasih mbk Tety

    BalasHapus
  23. Merinding uey bacanya... Kereennnn...

    BalasHapus
  24. Masya Allah, terharu bacanya..
    Semoga keluarga kak Heru selalu diberi kesehatan ya, Insya Allah..
    Oya selamat tulisannya menang.. :)

    BalasHapus
  25. ya ampun, sedih banget terharuh, hiks, hiks, tapi salut buat perjuangan Mas dan istri yg mampu melalui. Barakallahu fikum...

    https://chandratatian.blogspot.co.id/2016/11/tangan-tangan-yang-nakal.html ini hiburan ringan semenit

    BalasHapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *