Jumat, 27 Mei 2016

PRALAYA DI LANGIT BUBAT 20



Gajah Mada - image google

EPILOG

Kebahagiaan tampak terpancar dari wajah Prabu Lingga Buana beberapa hari ini. Impiannya untuk bisa melihat putrinya Dyah Pitaloka Citraresmi duduk di pelaminan akan segera terlaksana. Orang tua mana yang tidak bangga putrinya dipersunting oleh seorang raja tersohor. Penguasa wilayah Nusantara.

Hari itu segala bekal dan perlengkapan yang akan dibawa ke Majapahit telah disiapkan. Para punggawa kerajaan Pajajaran tak ada satu pun yang ketinggalan. Semua ikut dalam rombongan Prabu Lingga Buana mengantar Dyah Pitaloka menemui Prabu Hayam Wuruk di Trowulan. Menikah di istana Majapahit.

Seluruh rakyat Sunda ikut menyambut kebahagiaan itu. Berbondong-bondong mereka mengarak rombongan putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Galuh (Ciamis) menuju dermaga Sunda Kelapa.

Sampai di bibir pantai, tampak para petinggi Pajajaran sudah mempersiapkan pasukan pengawal dan kapal-kapal yang akan membawa Prabu Lingga Buana berlayar ke Majapahit.

Larang Agung, Tuan Sohan, Tuan Gempong, Panji Melong, Rangga Kaweni, Sutrajali dan Jagatsaya adalah para pembesar pakuan Pajajaran yang menyambut Prabu Lingga Buana dan putri Dyah Pitaloka Citraresmi naik ke kapal mereka.

Perlahan-lahan juru mudi perahu Pajajaran mengangkat jangkarnya. Kapal Prabu Lingga Buana beserta putri dan seluruh punggawanya pun bergerak mengarungi laut Jawa.

Empat hari mereka menyusuri samudera. Berlayar ke arah timur, hingga tiba di selat Madura. Perjalanan dilanjutkan lagi ke muara bengawan Brantas, lalu menuju kotaraja Majapahit di Trowulan.

*****

Majapahit, 1359 Masehi.
Malam itu Trowulan baru saja diguyur hujan lebat. Dinginnya hawa di kotaraja yang terletak di kaki bukit Penanggungan membuat orang-orang lebih memilih bermanja ria di peraduan. Jalan-jalan tampak lengang. Rumah para punggawa kedaton hampir semua tertutup rapat.

Suara lolongan anjing hutan dari Alas Lali Jiwo membuat bulu kudu merinding. Kabut pekat yang turun dari gunung Arjuno dan Welirang membuat suasana semakin mencekam. Hanya suara jangkrik dan binatang malam yang masih setia bersahutan memecah kesunyian.

Di sebuah balai kedaton, lima orang Dharmaputra sedang menghadap Mahamenteri Gajah Mada. Ketegangan tampak di wajah para punggawa Majapahit itu. Pembicaraan keenamnya juga terkesan sangat berhati-hati.

“Ada yang tidak lazim dari kedatangan rombongan Pajajaran, gusti Gajah Mada.” Ucap Gajah Enggon.

“Apa yang kalian lihat saat menyusup ke Pakuan?” Tanya Mahamenteri Gajah Mada.

“Prabu Lingga Buana membawa seluruh punggawa dan senopati perangnya ke Majapahit!” Jelas Panji Elam. Bersama Gajah Enggon, Mpu Kapasa, Mpu Menur dan Mpu Kapat, ia sengaja disusupkan oleh Gajah Mada ke Pajajaran.

Sang Mahamenteri masih kukuh pada keyakinannya bahwa tanah Pasundan tetap harus ditaklukkan, untuk menyempurnakan wilayah Nusantara. Ia terus memutar otak. Mencari jalan keluar agar pernikahan Prabu Hayam dan Dyah Pitaloka tetap bisa berlangsung, namun Pajajaran akhirnya bergabung dengan Majapahit sebagai negeri vassal.

“Baiklah, aku akan menemui Prabu Lingga Buana dan rombongannya. Penyerahan Dyah Pitaloka Citraresmi kepada gusti Prabu Hayam Wuruk anggap sebagai sesembahan untuk Majapahit. Agar kita membatalkan penaklukan Sunda!” Ucap Gajah Mada.

“Siapkan pasukan Bhayangkara. Aku akan berangkat ke Pesanggrahan Bubat!” perintah Gajah Mada.

Sendiko dawuh gusti!” Jawab kelima Dharmaputra serempak.

Malam itu Mahamenteri Gajah Mada menemui Prabu Lingga Buana untuk bernegosiasi. Kesatria besar penakluk Nusantara itu hendak menyarankan raja Pajajaran agar menganggap pernikahan putrinya sebagai sesembahan kepada Prabu Hayam Wuruk. Sehingga Pajajaran akan luput dari serangan pasukan Majapahit.

*****

Kedatangan Dyah Pitaloka Citraresmi yang diantar ayahnya Prabu Lingga Buana disambut langsung oleh Prabu Hayam Wuruk di dermaga bengawan Brantas, Trowulan. Sang raja muda ingin sekali celat-cepat melihat keelokan paras calon permaisurinya. Ia pun datang sendiri ke pelabuhan.

Rombongan besar dari Pakuan Pajajaran dijamu dengan perlakuan istimewa. Kepada prajurit pengawal disediakan tenda-tenda besar. Sementara Prabu Lingga Buana, Dyah Pitaloka dan para punggawanya di istirahatkan di Pesanggrahan Bubat.

Selama beberapa hari, para abdi dalem dikirim dari kedaton Majapahit untuk melayani segala keperluan Dyah Pitaloka dan rombongan. Prabu Hayam Wuruk tak ingin putri sunda yang menjadi calon permaisurinya itu tidak nyaman tinggal di negerinya.

“Ampun paduka Prabu Lingga Buana, ada tamu kehormatan dari kedaton Majapahit yang ingin menemui paduka.” Ucap Larang Agung, senopati Pajajaran lalu menyembah Prabu Lingga Buana.

“Persilahkan dia masuk!” Perintah Prabu Lingga Buana.

“Baik paduka.” Jawab Larang Agung. Sesaat ia keluar dari pesanggrahan, lalu kembali lagi bersama seseorang yang ia sebut sebagai tamu kehormatan dari kedaton Majapahit.

“Terimalah salam hormat hamba kepada paduka Prabu Lingga Buana. Perkenalkan, hamba adalah Mahamenteri Gajah Mada.” Ucap sang tamu.

“Ya Dewata Agung, sungguh beruntung nasibku bisa bertatap muka dengan seorang kesatria besar. Penakluk Nusantara, Gajah Mada!” Sambut Prabu Lingga Buana.

“Katakan, angin apa yang membawa tuan datang menemuiku?” Lanjut Prabu Lingga Buana bertanya.

“Sebelumnya hamba mohon ampun jika ucapan hamba nantinya kurang berkenan di hati paduka.” Gajah Mada membuka pembicaraan.

“Saat hamba diangkat menjadi Mahapatih Amangkubumi dulu, hamba bersumpah akan menyatukan Nusantara dibawah kedaulatan negeri kami, Majapahit!” Lanjut Gajah Mada.

“Lalu, apa yang hendak tuanku Gajah Mada inginkan?” Prabu Lingga Buana mulai bisa menebak arah tujuan pembicaraan sang Mahamenteri Majapahit itu. Larang Agung yang sedari tadi berada di luar mulai terusik. Ia menerobos masuk, ikut bergabung dalam pembicaraan.

“Kami menyarankan Pajajaran ikut bergabung dengan Majapahit. Tak perlu ada pertumpahan darah. Anggaplah pernikahan Prabu Hayam Wuruk bersama putri Dyah Pitaloka ini sebagai tali asih perdamaian kita. Sesembahan dari kerajaan Pajajaran kepada Majapahit!” Jelas Gajah Mada.

Prabu Lingga Buana tersentak. Mukanya seketika memerah. Tangannya mengepal. Ingin sekali ia melayangkan pukulan kepada orang yang baru saja merendahkan kehormatannya.

Jauh-jauh ia datang dari tanah Pasundan ke Majapahit untuk mengantarkan putrinya. Justru sekarang ia dilecehkan dengan keinginan Gajah Mada agar Pajajaran mengakui pernikahan Dyah Pitaloka dan Hayam Wuruk sebagai tali asih perdamaian. Dengan kata lain sebagai pengampunan agar pasukan Majapahit tidak menginvasi Pajajaran.

“Tuan Gajah Mada, jaga omonganmu!” Bentak Larang Agung yang langsung berdiri menunjuk wajah Gajah Mada.

“Pantang bagi orang Sunda untuk menyerahkan Dyah Pitaloka sesbagai sesembahan. Pajajaran memiliki kedaulatannya sendiri. Tanah Pasundan bukanlah bagian dari Nusantara!” Tegas Prabu Lingga Buana.

“Bergabunglah, atau akan ada pertumpahan darah!” Tantang Gajah Mada. Ia membalas reaksi Larang Agung dengan melakukan gerakan yang sama.

“Aku ingin mencoba seberapa besar kedigdayaanmu, apakah sebesar badan gempalmu itu!” Balas Larang Agung.

“Cabut pusakamu! Pilihlah bagian tubuh Gajah Mada sebelah mana yang ingin kau coba!” Sang Mahamenteri Majapahit langsung menarik Larang Agung keluar dari pesanggrahan.

Di halaman pesanggrahan Bubat, para Dharmaputra yang menyertai Gajah Mada sudah bersiaga. Ketegangan semakin memanas ketika mereka melihat junjungannya keluar dengan menggelendeng seorang punggawa Pajajaran.

Larang Agung terhuyung-huyung ketika tangan kekar Gajah Mada mendorongnya ke tanah lapang. Sontak para pengikutnya segera mengepung Gajah Mada. Namun belum sempat mendekat, Gajah Enggon, Panji Elam, Mpu Kapasa, Mpu Menur dan Mpu Kapat sudah menghadang.

Dari arah selatan, terdengar derap pasukan berkuda Bhayangkara yang langsung menyerbu tenda-tenda prajurit Pajajaran. Bentrokan di pesanggrahan Bubat pun tak terhindarkan. Prabu Lingga Buana yang sebelumnya menahan diri akhirnya ikut keluar. Ia menghunus senjatanya dan ikut menerobos barisan prajurit Majapahit.

“Gajah Enggon, lindungi putri Dyah Pitaloka!” Teriak Gajah Mada.

“Jangan biarkan ada yang mendekat dan melukai sang putri!” Ucapnya lagi sembari menghindari tebasan senjata para punggawa Pajajaran.

Sendiko dawuh gusti!” Teriak Gajah Enggon yang langsung berlari ke gerbang pesanggrahan. Ia berjaga-jaga disana.

Peperangan tak berlangsung lama. Pasukan Bhayangkara Majapahit yang telah berpengalaman berkelana menaklukkan seantero Nusantara terlalu kuat untuk Prabu Lingga Buana, para punggawa dan prajurit Pajajaran.

Beberapa saat kemudian suasana hening kembali. Larang Agung, Tuan Sohan, Tuan Gempong, Panji Melong, Rangga Kaweni, Sutrajali dan Jagatsaya sudah tak bergerak lagi. Tubuh mereka bersimbah darah dengan posisi semuanya mengelilingi seseorang yang juga telah membujur kaku. Prabu Lingga Buana!

Gajah Mada menyarungkan kembali Keris Luk Pitu kedalam rangkanya. Perlahan-lahan ia berjalan mendekati tubuh Prabu Lingga Buana. Memastikan bahwa raja Pajajaran itu sudah tak bernyawa lagi. Sempurna kini wilayah Nusantara, bhatinnya.

*****

Kabar adanya ketegangan antara pasukan Bhayangkara pimpinan Mahamenteri Gajah Mada dengan rombongan Pajajaran di pesanggrahan Bubat terdengar Prabu Hayam Wuruk. Ia segera bergegas berangkat dengan dikawal para abdi dalem kedaton.

“Dayang-dayang, dimanakah tuan putri Dyah Pitaloka?” Tanya Prabu Hayam Wuruk yang tergopoh-gopoh masuk ke pesanggrahan Bubat.

Tak ada yang berani menjawab. Semua yang ada di dalam bilik pesanggrahan terduduk bersimpuh. Hayam Wuruk seketika lunglai, ketika dilihatnya Mahamenteri Gajah Mada juga tertunduk disamping tubuh yang tertutup kain berwarna hijau.

Tubuh wanita itu membujur kaku. Bibirnya masih tersenyum, sedikit terbuka sehingga terlihat barisan gigi yang indah. Namun matanya kini sudah terpejam. Wajah ayunya pun terlihat pucat. Sepucat wajah Hayam Wuruk yang tak kuasa menahan buliran air bening di pelupuknya.

“Lihatlah kekasihku, raja Majapahit yang gagah perkasa. Jauh-jauh aku meninggalkan tanah Pasundan, untuk menemui pemilik hatiku. Hari ini seharusnya aku duduk di pelaminan, mengucapkan sumpah sakral di hadapan para Brahmana. Tapi lihatlah! Aku, ayahandaku dan para saudara-saudaraku meregang nyawa di tanahmu!” Sukma Dyah Pitaloka Citraresmi meratapi kematiannya.

*****

“Hamba pamit, gusti Prabu!” Sembah Gajah Mada saat menemui Prabu Hayam Wuruk di kedaton. Pagi-pagi sekali ia sudah membawa barang-barangnya dan kuda tunggangannya yang ia tambatkan di halaman kedaton.

“Kau akan berangkat ke Madakaripura sekarang, kakang?” Tanya Prabu Hayam Wuruk.

“Tidak gusti Prabu. Tugas dan pengabdian hamba untuk Majapahit telah usai.” Jawab Gajah Mada.

“Seperti yang kemarin gusti Prabu Hayam Wuruk katakan, mungkin hamba sudah terlalu lelah. Hari ini hamba memutuskan untuk undur diri.” Lanjutnya.

 Prabu Hayam Wuruk diam. Enggan menjawab ucapan Mahamenterinya. Ia membalikkan badan, tak mau menatap orang yang menghadapnya. Hatinya masih terluka dengan kecerobohan Gajah Mada menyerang rombongan Pajajaran. Hingga membuat Dyah Pitaloka Citraresmi, kekasihnya menempuh jalan bela pati, saat mengetahui ayahnya Prabu Lingga Buana terbunuh oleh Keris Luk Pitu milik Gajah Mada.

“Ampun beribu-ribu ampun, gusti Prabu. Hamba tidak bisa menerima pemberian tanah Madakaripura.” Ucap Gajah Mada lagi.

Di usia yang tidak lagi muda, membuka sebuah hutan perdikan yang jauh dari kotaraja adalah isyarat bagi Gajah Mada bahwa ia telah disingkirkan oleh Prabu Hayam Wuruk. Segala bhakti dan jasa besarnya untuk negeri Majapahit telah sirna pasca tragedi Perang Bubat kemarin.

“Untuk terakhir kalinya, ijinkan hamba menyembah paduka Prabu Hayam Wuruk sebagai raja besar yang sangat hamba hormati. Terima kasih atas pemberian tanah Madakaripura. Tetapi hamba sudah mantab untuk mengembalikannya kepada gusti Prabu. Maafkan atas segala kesalahan Gajah Mada.” Suara Gajah Mada melirih.

Gajah Mada melangkah keluar kedaton. Meninggalkan Prabu Hayam Wuruk yang tetap tak mau berbicara dengannya. Raja yang telah ia hantarkan menuju puncak kejayaan menguasai Nusantara itu masih belum beranjak dari posisi duduknya yang membelakangi Gajah Mada.

Tetapi di balik wajah yang tak mau menatap Gajah Mada itu, butir-butir bening dari pelupuk mata Hayam Wuruk berderaian mengiringi kepergian Sang Mahamenteri. Bagaimanapun juga, orang itu adalah kesatria besar Majapahit, ucapnya dalam hati.

Sejak hari itu, keberadaan Gajah Mada hilang bak ditelan bumi. Tak ada seorang pun yang mengetahui kemana ia pergi. Ada yang bilang ia menjadi pertapa di Madakaripura. Ada pula yang mengatakan bahwa momongan Ki Gede Sidowayah itu pulang kembali ke desa Modo. Di hutan gunung Ratu, ada seorang lelaki tua yang berbadan tinggi besar sering menggembalakan kerbau-kerbaunya. Cerita orang-orang disana

Lelaki renta itu adalah Joko Modo tua. Gajah Mada!

*****

Trowulan, 1389 Masehi.

Majapahit berkabung!
Prabu Hayam Wuruk yang telah membawa Majapahit berada pada jaman keemasan jatuh sakit. Sudah berhari-hari ia terbaring lemah. Para tabib istana yang menanganinya sudah angkat tangan.

Raja yang bersama Mahamenteri Gajah Mada telah berhasil menaklukkan seluruh wilayah Nusantara itu akhirnya mangkat di usia 55 tahun. Seluruh punggawa dan rakyat Majapahit mengantarnya menuju tempat peristirahatan terakhir. Abu jenasah Prabu Hayam Wuruk diabadikan di sebuah tempat di sebelah barat daya kotaraja.

*****

Prabu Hayam Wuruk terbangun. Ia mengusap-usap kedua kelopak matanya. Mencoba mengenali pemandangan di sekelilingnya.

“Dimanakah aku sekarang?” Bathin Prabu Hayam Wuruk. Ia hanya melihat sinar putih memenuhi tempatnya berdiri sekarang. Seluruhnya tertutup cahaya terang benderang. Tak ada seorangpun disana.

Raja Majapahit keempat itu lalu berjalan, mencoba mencari jalan keluar dari lautan cahaya putih. Namun tak bisa menemukannya. Setelah melangkah sedemikian jauh, akhirnya ia melihat seseorang menghampirinya. Lelaki berambut putih dengan wajah yang telah mengeriput. Badannya masih kokoh, meski terlihat sudah renta.

“Kakang Gajah Mada, kaukah itu?” Tanya Prabu Hayam Wuruk. Kembali ia mengucek-ucek kedua matanya untuk memastikan sosok yang sekarang berdiri di hadapannya. Lelaki tua itu mengulurkan tangan.

“Gusti Prabu Hayam Wuruk, mari hamba antar menuju gerbang alam Sunyaruri!” Jawab Mahamenteri Gajah Mada. Ia menuntun rajanya melangkah ke sebuah sudut lautan cahaya putih.

Tampaklah sebuah gerbang yang sinarnya berbeda dengan lautan warna putih tadi. Didepan gapura, berdiri seorang wanita berparas ayu. Ia melambai-lambaikan tangan kepada Prabu Hayam Wuruk.

Wanita itu menggunakan gaun serba putih. Senyumnya sedikit terbuka, memperlihatkan barisan gigi yang indah. Dagunya lancip, menusuk-menusuk perasaan Hayam Wuruk yang masih belum percaya dengan pemandangan yang dilihatnya.

“Wahai kekasihku, raja Majapahit. Akhirnya kau datang juga menemuiku. Rinduku telah menggunung seperti Papandayan. Rasa cintaku tak pernah berubah selama penantian empat puluh tahun ini!” Sambut wanita bergaun putih itu. Dyah Pitaloka Citraresmi.

*****

TAMAT

Baca kisah sebelumnya [Disini ]

#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
-------------------------

Catatan :

Kematian seluruh rombongan Prabu Lingga Buana di pesanggrahan Bubat karena mempertahankan harga diri membuatnya dipuji rakyat Pajajaran. Keberaniannya memilih mati di tangan Gajah Mada dianggap sebagai teladan. Iapun dikenang sebagai Prabu Wangi (raja yang harum namanya). Para penerusnya kemudian dikenal dengan nama Prabu Siliwangi, berasal dari kata Silih Wangi yang berarti pengganti Prabu Wangi.

Satu-satunya putra Prabu Lingga Buana yang tersisa, Pangeran Niswakala Kencana yang tidak dibawa ke Majapahit karena usianya masih kecil akhirnya mewarisi tahta. Setelah menjadi raja Pajajaran, ia melakukan kebijakan pemutusan hubungan diplomatik dengan Majapahit.

Karena trauma dengan tragedi Perang Bubat, Niswakala Kencana juga mengeluarkan larangan tidak boleh menikah diluar kerabat Sunda, atau menikah dengan keturunan Majapahit. Seruan ini yang akhirnya menjadi mitos larangan menikahi suku Jawa.

*****

Kisah perang Bubat ini saya tulis berdasarkan penelusuran saya selama tiga kali ke situs Trowulan, Mojokerto. Juga dari cerita mulut ke mulut (forklor) masyarakat. Saya menyimpulkannya sebagai kategori fiksi, karena kebenaran sejarahnya masih menjadi perdebatan panjang budayawan Jawa dan Sunda. Belum ada bukti peninggalan sejarah yang mencatat tragedi ini.

Kidung Sundayana yang menjadi rujukan kisah Perang Bubat juga masih diragukan keabsahannya. Kakawin terjemahan seorang Belanda ini dianggap sebagai salah satu bentuk politik devide et impera penjajah kala itu. Melalui sadurannya, mereka sengaja menciptakan konflik SARA antara etnis Jawa dan Sunda.

Benar atau salahnya tragedi ini, kita semua tidak tahu. Karena tak pernah hidup di jaman itu. Kita hanya bisa menafsirkan menurut pendapat masing-masing. Wallahu A’lam Bishawab (Dan Allah lebih mengetahui dari yang sebenar-benarnya)! Betapa fakirnya ilmu dan pengetahuan kita.

Janganlah kisah ini menjadi pemicu perpecahan sesama anak bangsa. Persatuan dan Kesatuan Indonesia tetap diatas segala-galanya.

Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa!
-
-
Salam bahagia,
(Heru Sang Mahadewa)

13 komentar:

  1. Nah berakhir dengan sangat elegan mas. Laksana penulis profesional.

    BalasHapus
  2. Nah berakhir dengan sangat elegan mas. Laksana penulis profesional.

    BalasHapus
  3. Terima kasih Aa.
    Saya masih hrs bnyk belajar.

    BalasHapus
  4. Kereem.Her,,apiiikk banget
    Cuma sedih baca kisahnya nggak bisa bersatu

    BalasHapus
  5. keren kang
    koyon aku kalo ketemu gajah mada takut

    BalasHapus
  6. Sangat elegan. setuju sama A gilang. Terimakasih Mas Heru atas cerbungnya yang mengesankan.

    BalasHapus
  7. luar biasa. sukses untuk mas Heru. calon novelis yg oke tenan...

    BalasHapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *